Tan Malaka adalah
seorang filsuf kiri yang terkenal oleh pemikiran pemikirannya yang revolusioner
dan berbobot, dan Tan Malaka juga berperan besar dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai
tokoh revolusioner yang legendaris namun pemerintah ketika itu menganggap
dirinya sebagai pemberontak dan harus dilenyapkan, dan ini terbukti bahwa
ahirnya Tan Malaka di tembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah
Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1]. Banyak pemikiran
pemikiran yang ia tuangkan kedalam sebuah buku diantaranya yaitu MADILOG (Materialisme,
Dialektika, Logika). Madilog ini merupakan istilah baru dalam cara berpikir,
dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode
yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari
kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti.
Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan,
pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan
realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog
(Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau
belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai
landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara
rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan
bagaimana.
Selain itu Tan Malaka juga pemimpin
Partai Komunis Indonesia, pendiri Partai Murba, dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Dia lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni
1897 dan wafat di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada
umur 51 tahun.
Nama
lengkap Tan malaka adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka, Ibrahim
adalah Nama aslinya, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia
dapatkan dari garis ibu. Ayahnya bernama HM. Rasad, seorang karyawan
pertanian, dan Ibunya Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa. Di
tempat kelahirannya, Tan Malaka mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak
silat.
Tan
malaka belajar ilmu pendidikan di Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de
Kock pada tahun 1908. Menurut gurunya GH Horensma, Malaka adalah murid yang
pintar meskipun kadang-kadang tidak patuh. Di sekolah ini, ia menyukai
pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang
guru di sekolah Belanda. Selain pintar, Ia juga adalah seorang pemain sepak
bola yang hebat. Setelah lulus dari Kweekschool pada tahun 1913, ia ditawari
gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannyan, namun Ia hanya
menerima gelar datuk saja. Dan gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara
tradisional pada tahun 1913. Pengangkatannya menjadi datuk tidak membuatnya
berdiam diri, pada bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di
Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), yang didanai oleh para
engku dari desanya. Di Belanda, pada 1915, ia menderita pleuritis (Pleuritis
merupakan peradangan dari lapisan sekeliling paru- paru (pleura) disebabkan
oleh penumpukan cairan dalam rongga pleura).
Pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat selama
kuliah ditambah dengan membaca de Fransche Revolutie, yang diterimanya dari
Horensma sebelum keberangkatannya ke Belanda. Setelah Revolusi Rusia pada
Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, Sejumlah buku
yang dibacanya yang berhubungan dengan hal tersebut adalah buku-buku karya Karl
Marx, Friedrich
Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche. Saat
itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan
Amerika. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman namun ditolak karena Angkatan
Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet,
salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV,
pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung
dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial
Guru). Tan malaka lulus dari Rijkskweekschool dan menerima ijazahnya yang
disebut hulpactie pada bulan November 1919.
Selepas pendidikannya
di Belanda, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W.
Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung
Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia tiba di sana pada Desember 1919; dan mulai
mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan
Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal
sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan
keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV
dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah
"Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok
dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije
Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan parakuli kebun teh
di Sumatera Post. Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri.
Ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.
Pada tahun 1921 Tan
Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar
dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis.
Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai
pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga
merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi
anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang
kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis,
keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun
pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga
mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk
mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan
kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para
murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung,
menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain);
kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam
bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin.
Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah.
Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin
besar.
Perjuangan Tan Malaka
tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu,
tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang
dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan
aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang
ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang
diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan
para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai
pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan
diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan
revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka
dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak
untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk
mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah
kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar,
program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern
seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum
komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih
berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia
meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan
sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan
PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang
direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan
nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya
merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di
Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat
mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang
disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya.
Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan
membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan
nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar
serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada
di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok.
Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927
Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua
tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu
ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda.
Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Peristiwa 3 Juli 1946
yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan
Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah
tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan
pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari
penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat
parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville
1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana
Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7
November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949
tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu
kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di
Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari
penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan
Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo
dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].
Direktur Penerbitan
Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV,
Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan
TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen,
Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI
No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa
Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Harry Poeze telah
menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian
wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para
pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan
dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja
sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya
ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya.
Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum
masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang
belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan
nasional.
Tidak kurang dari 500
kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah
Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin,
ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga
menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa
Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan
kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah.
Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah
menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar
beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya
menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto
mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry
Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat
Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa
Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.